Kondisi Perbankan Nasional Akibat Gejolak Ekonomi Tahun 1997
Dampak Peristiwa Gejolak Ekonomi 1997 Bagi Perbankan Nasional
1. Perbankan Indonesia mengalami pukulan berat akibat
krisis nilai tukar mata uang yang melanda negara-negara di kawasan Asia,
termasuk (dan terutama) Indonesia sejak pertengahan 1997. Kepanikan nasabah
bank lantaran nilai tukar Rupiah terdepresiasi drastis terhadap valas dalam
waktu yang begitu cepat, berakibat pada penarikan Rupiah di bank-bank secara besar-besaran
(rush). Sebagian besar dana itu dipergunakan untuk berspekulasi valas,
akibatnya Rupiah semakin terdepresiasi lagi. Penarikan dana nasabah bukan hanya
dilakukan dalam bentuk uang tunai tetapi juga melalui kliring. Oleh karena itu
banyak bank yang saldo gironya di Bank Indonesia menjadi negatif.
Di sisi lain, kekhawatiran Bank Indonesia terhadap
kemungkinan yang lebih buruk ditindaklanjuti antara lain dengan pengetatan
likuiditas perbankan dengan maksud agar bank-bank tidak ikut berspekulasi membeli
valas. Bank rush dan pengetatan likuiditas tersebut kemudian direspons pasar
sehingga mendorong naiknya suku bunga antar bank (rata-rata 60% per tahun).
Berhubung banyak bank yang tidak dapat membayar kembali pinjaman antarbank
dimaksud maka bank-bank pemberi pinjamanpun akhirnya mengalami kesulitan
likuiditas pula (domino effect). Akibatnya bank yang bersaldo negatif di Bank
Indonesia semakin banyak lagi. Kondisi yang demikian menimbulkan kekhawatiran
Bank Sentral atas kemungkinan lumpuhnya system pembayaran yang dampak
berikutnya akan memukul kegiatan ekonomi secara keseluruhan sehingga dapat
menimbulkan implikasi lain seperti kekurangcukupan pasokan obat-obatan, minuman
dan makanan bayi serta pemutusan hubungan kerja bagi kaum buruh.
Daya tahan perbankan nasional
terhadap krisis yang begitu rentan, disebabkan pula oleh
kondisi internal sektor perbankan seperti konsentrasi kredit pada sektor
ekonomi tertentu terutama kredit kepada pihak-pihak terkait dengan bank.
Kondisikondisi lainnya yang juga ikut berperan antara lain belum adanya sistem
penjaminan terhadap simpanan masyarakat yang akhirnya mengharuskan bank sentral
memberikan implicit guarantee atas kelangsungan hidup beberapa bank untuk
mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan. Selain itu, lemahnya law
enforcement pada umumnya, termasuk dependensi bank sentral, telah menimbulkan
moral hazard bagi manajemen bank yang mengarah pada perilaku mengambil risiko
tinggi dalam pengelolaan bank. Issue lain yang juga berpengaruh adalah terbatasnya
informasi yang tersedia bagi masyarakat mengenai kondisi keuangan bank sehingga
kontrol masyarakat terhadap perbankan tidak berjalan dengan semestinya.
Menghadapi kondisi ini,
fungsi pengawasan bank dititikberatkan pada berbagai hal penting, antara lain
pembatasan ruang gerak bank atas kemungkinan keterlibatannya dalam spekulasi,
minimalisasi kemungkinan terjadinya rush oleh intern bank sendiri dan meminta
bank melakukan himbauan kepada nasabahnya agar tidak panik secara berlebihan. Pemerintah
memutuskan untuk membantu bank-bank yang masih memiliki harapan hidup;
memerintahkan merger atau penjualan beberapa bank kepada bank-bank yang lebih
mampu; dan mencabut ijin bank-bank yang sudah tidak memiliki harapan hidup.
Bank-bank yang dianggap layak berlanjut dibantu dengan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia. Kemudian 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL), 4
bank dinyatakan sebagai Banks Taken Over (BTO), 10 bank sebagai Bank Beku
Operasi (BBO) dan 39 bank sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha Tertentu (BBKU).
Selain itu, dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah melakukan penguatan
modal (rekapitalisasi) terhadap 10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 bank
umum.
Sementara
itu, untuk meredam kepanikan masyarakat, pemerintah menyediakan program
penjaminan atas simpanan mereka di bank dan sekaligus menjamin pula seluruh
kewajiban bank (blanket guarantee). Badan Penyehatan Perbankan Nasional pun
dibentuk untuk menjalankan program penjaminan Pemerintah serta diberi tugas
melakukan penyehatan bank-bank yang diambilalih oleh Pemerintah. Dengan
demikian secara ringkas dapat dikemukakan bahwa arah kebijakan perbankan dalam
periode ini adalah menyelamatkan sistem perbankan dari krisis dan meletakkan
landasan-landasan bagi pemulihan kemudian.Sebagai konsekuensi dari krisis
moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus1997 terpaksa membebaskan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollarAS, dan membiarkannya
berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managedfloating
yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978.
Dengan demikian BankIndonesia tidak lagi melakukan
intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilaitukar rupiah, sehingga
nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata.
Kisah
Mengenai Likuidasi 16 Bank di Indonesia Tahun 1997
Pemerintah secara resmi mencabut izin usaha 16 bank umum yang dipandang tidak sehat.Penutupan bank-bank itu terhitung mulai Sabtu, 1 november 1997 pukul 13.00 WIB. Hal tersebut sangat menyakitkan untuk bank dan seluruh nasabah bank dari bank yang dicabut izin usahanya oleh pemerintah. Pemerintah menyediakan dana sekitar 2 triliun sebagai dana talangan kepada para nasabah penyimpan dana di 16 bank itu. Perusahaan yang telah menyimpan dana di 16 bank tersebut dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama tidak bisa membayar tenaga kerja mereka karena uang mereka yang tertahan di 16 bank tersebut, dan berdampak pada banyaknya pegawai ke 16 bank itu terkena PHK mengakibatkan tingkat pengangguran melonjak tajam. Ke 16 bank yang dicabut itu berlokasi di kota Manado dan Jakarta.
Pencabutan izin usaha
16 bank ini memicu terjadinya depresiasi kepercayaan terhadap perbankan.
Sebagai dampak krisi kepercayaan itu, terjadi penarikan dana secara
besar-besaran yang dilakukan oleh para nasabah. Keputusan likuidasi 16 bank
pada tanggal 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang
berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan. Sebenarnya tindakan likuidasi
ini diambil untuk mencegah semakin meluasnya krisis perbankan dan besarnya
risiko yang ditanggung masyarakat. Selain itu keputusan likuidasi itu juga
merupakan hasil rekomendasi IMF yang dituangkan ke dalam Letter of intent
antara pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Nemun upaya yang
semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat itu ternyata oleh
masyarakat ditanggapi secara negatif.
Komentar